Memaknai Kehidupan
Alkisah, ada orang bertanya kepada Rabi’ah.
“Selama ini kami melihat dirimu seperti manusia yang terasing dan terbuang. Dari manakah asalmu yang sesungguhnya, wahai Rabi’ah?”.
“Saya dari Negeri Akhirat”.
Dari Negeri Akhirat? Lantas hendak ke mana engaku pergi?”.
Saya hendak pergi ke Akhirat.
“Lalu apa yang engkau perbuat di dunia ini?”
“Karena saya berasal dari Akhirat, di sini saya hanya bermain-main. Itulah yang saya lakukan”.
“Maksudnya?”
“Saya makan roti di dunia, dan itu hanya permainan saya di dunia, tetapi saya beramal untuk Akhirat”.
Tidak ada orang yang meminta dan berencana untuk hidup, sebagai manusia. Karena, hidup menjadi seorang manusia adalah anugrah. Setelah kita menyadari dan mampu berpikir barulah kita bertanya-tanya tentang apa itu kehidupan dan apa manusia. Memikirkan dan berencana bagaimana akan kita jalani kehidupan ini, dan apa yang harus kita lakukan sebagai manusia? Pertanyaan tentang tujuan hidup baru kita pikirkan dan dirumus-rumuskan kemudian, bukan datang sebelum kita terlahir ke dunia ini. Kita bisa saja melepaskan diri dari pertanyaan kenapa kita hidup di dunia dan menjadi manusia, akan tetapi akan patal akibatnya bila tidak pernah memikirkan bagaimana kita seharusnya menjalani kehidupan. Hidup adalah kepastian (faktisitas, takdir) terjadi dengan begitu saja di luar kehendak kita, sementara bagaimana kita, sebagai orang manusia, menjalani kehidupan adalah sebuah kemungkinan dan pilihan, oleh karena itu perlu dipikirkan dan direncanakan.
Hidup sekedar ada dalam wujud manusia tidaklah cukup, kita harus memberinya makna terhadap kehidupannya dan ke-manusia-an kita. Ada tidaklah cukup, tapi juga harus pula hadir. Ada tanpa kehadiran adalah makna lain dari ungkapan: “wujuduhu ka adamihi” (adanya seperti tiadanya). Perbedaan mendasar dari ada dan hadir adalah kesadaran dan relasi. Ada tidak mensyaratkan kesadaran dan relasi, sedangkan kehadiran mensyarakatkan kesadaran dan relasi.
Para filosof mengatakan bahwa hanya manusialah yang menyadari dan mempertanyakan keberadaanya. Ada yang bertanya dan bertanyakan adalah kehadiran, dan bertanya adalah wujud paling asasi dari kesadaran. Bila ada kita bertanya tentang seorang teman akrab yang telah lama tidak dijumpainya, itu menandakan bahwa teman kita itu pada dasarnya selalu hadir dalam ingatan dan hati kita. Kita senantiasa membangun dan menjaga relasi dengan teman kita itu, walaupun ia tidak hadir secara fisikal di hadapan kita. Akan tetapi orang yang ada di hadapan kita yang tidak kita kenal; dan kita tidak memiliki kepentingan apa pun dengan orang itu, tidak pernah terlintas dalam pikiran kita untuk mempertanyakannya. Itu artinya ia ada namun tidak pernah hadir dalam kehidupan, pikiran dan perasaan kita. Tidak ada relasi antara kita dengan orang yang ada di hadapan kita tersebut. Adannya sama dengan tidak adanya. Kita tidak pernah membangun makna dan mendapatkan makna dari adanya orang itu. Kalaupun ada orang bertanya tentang orang itu, mungkin kita akan mengatakan, “Emangnya gua pikirin…!”
Teman akrab yang telah lama tidak kita jumpai menyimpan seribu makna dalam kehidupan kita. Makna yang dibangun bersama. Ada dan tidak ada pada akhirnya adalah sekedar ilusi, akan tetapi kehadiran adalah fakta yang membangun kehidupan kita. Seperti sekuntum bunga mawar yang diberikan sang kekasih, yang di depan bukanlah kuntum bunga, akan tetapi sosok kekasih yang memancah kasih dan cintanya. Kuntum bungan sekedar ilusi, kehadiran kekasih yang penuh cinta adalah fakta yang hadir di hadapan mata.
Peralihan kuntum bunga menjadi yang lain, yaitu kehadiran sang kekasih, dibangun oleh kehidupan yang telah dijalaninya bersama. Kehidupan yang sarat dengan makna. Pemberian makna terhadap kehidupan memang dilakukan dengan melakukan perenungan, dan memberi nilai terhadap kehidupan yang telah dan sedang kita jalani. Peristiwa masa lalu yang telah dilewati dalam kehidupan kita bila tidak dimaknai hanya akan hadir dalam ingatan kita sekedar sebagai sebuah peristiwa. Masa lalu ketika dijalani adalah sebuah kemungkinan dan pilihan, akan tetapi ketika ia telah lewat dan hadir dalam ingatan, ia menjadi kepastian yang tidak bisa dirubah. Masa lalu hanya bisa berubah dalam dan melalui pemaknaan. Memaknai masa lalu. Memaknai kehidupan menjadi penting pula untuk menentukan “penyikapan” terhadap kehidupan dan segala aspek yang berhubungan dengan kehidupan kita.
Pemaknaan terhadap kehidupan berhubungan dengan konsep dan kesadaran kita tentang tujuan hidup. Rumusan tentang tujuan hidup, sebenarnya tiada lain dari pemaknaan susulan yang dilakukan secara sadar dan terus menerus terhadap kehidupan yang telah, sedang dan yang akan dilaluinya. Pentingnya pertanyaan tentang tujuan hidup (di dunia) pada dasarnya tiada lain dalam proses pemaknaan terhadap hidup yang dijalaninya. Pembicaraan tentang tujuan dan untuk mencapainya, pada akhirnya harus pula didasarkan pada kesadaran akan asal. Seperti kalau seseorang akan pergi ke suatu tempat, maka arah dan jalan yang akan dilaluinya sangat tergantung dari mana ia berasal. Dengan demikian, kesulitan orang untuk merumuskan tujuan dan makna hidup adalah karena tidak semua orang secara pasti menyadari awal keberangkatannya.Ketidakjelasan penyadaran akan asal keberangkatan, kalaupun kemudian tujuan dan makna kehidupan seseorang dirumuskan, bukan tidak mungkin bila tidak ditemukan kesesuaian antara apa yang dipikirkannya sebagai tujuan dengan apa yang dilakukannya sebagai upaya untuk mewujudkan (menuju) tujuan kehidupannya itu. Bukan tidak mungkin pula bila hal yang utama akan disikapi sebagai hal sampingan, dan hal yang pada dasarnya sampingan disikapi sebagai hal utama dalam kehidupan. Hal sampingan yang oleh Rabi’ah disikapi sekedar prilaku main-main. Permainan dalam hidup memang sangat penting dalam kehidupan manusia, walaupun bukan yang utama dalam kerangka tujuan hidup.
Maka, wajarlah bila kerap kali orang ditanya tentang tujuannya hidup di dunia, jawabannya tidak jarang tidak sesuai dengan apa yang dilakukannya. Sering kita merumuskan tujuan secara ideal, akan tetapi apa yang kita lakukan sama sekali bersebrangan dengan apa yang kita idealkan. Dengan kata lain, ketika orang ditanya tentang tujuan hidup, ia akan mengatakan apa yang dipikirkannya, bukan apa yang dikerjakannya.
Banyak hal dalam kehidupan ini yang harus dimaknai, bahkan pada akhirnya apa pun yang kita “miliki”, alami (dirasakan, dan dipikirlan) haruslah dimaknai. Pemaknaan terhadap kehidupan tidak bisa terlepas dari fakta-fakta yang melingkunginya. Apakah fakta tersebut merupakan kenyataan yang sesuangguhnya maupun “fakta-fakta” yang diasumsikan. Disebut fakta yang disumsikan, karena asumsi-asumsi tersebut telah dianggap sebagai kebenaran atau apa yang disebut dengan akal sehat (common-sense).
Memaknai Fakta Dualisme Kehidupan
Secara radikal, kehidupan manusia senantiasa dihadapkan pada asumsi-asumsi yang bersifat dualistik. Sebagai contoh, asumsi bahwa manusia terdiri dari dua unsur jasmani dan ruhani (lahir, bathin), kiri-kanan, pikiran-perasaan, benar-salah, baik-benar dan lain sebagainya. Dualisme fakta kehidupan ia tidak jarang membuat manusia mengalami jalan buntu, atau secara radikal berada di satu posisi secara mengkutub. Padahal manusia merupakan realitas integral yang tidak bisa dilepaskan dari seluruh alam secara keseluruhan.
Setiap percabangan tentunya ada pusat atau inti persoalan yang bisa dijadikan pijakan dalam pemaknaan. Sebagai contoh, tangan kiri dan tangan kanan berpusat pada kenyataan bahwa baik tangan kiri atau pun tangan kanan adalah tangan, tangan kita yang merupakan bagian integral dari tubuh kita. Demikian juga dengan baik-jahat, keduanya adalah nilai dari apa yang kita lakukan atau seseorang lakukan. Baik dan jahat berpusat pada perbuatan atau aktivitas yang kita lakukan. Dan tidak ada perbuatan dilakukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat dirinya menderita, merugi. Kecuali tentunya bila ia mengalami kelainan jiwa, sakit (?).
Demikian pula pemaknaan terhadap asumsi bahwa manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Intinya adalah baik jasmani maupun ruhani, keduanya merupakan bagian integral dari apa yang disebut dengan manusia. Kedua unsur tersebut adalah fakta dari manusia yang hidup di dunia. Tidak bisa secara gegabah menafikan menganggap kecil salah satu bagiannya, apalagi menganggapnya tidak ada. Demikian juga dengan asumsi adanya dunia dan akhirat. Terminologi dunia-akhirat pemaknaannya harus dilihat dalam konteks manusia. Yaitu, bahwa kedua kata tersebut menjadi bermakna hanya dan hanya jika dihubungkan dengan kehidupan manusia. Bila diposisikan secara berlainan sama sekali dan otonom dan tidak dihubungan dengan keberadaan manusia, dunia dan akhirat merupakan dua realiatas yang sama sekali tidak berhubungan sama sekali. Keduanya menjadi berhubungan dan bermakna karena adanya manusia.
Dalam konteks manusia, alam akhirat merupakan kelanjutan yang bersifat konsekwensional dari kehidupan manusia di dunia. Dengan kata lain, kehidupan manusia di dunia menjadi “penentu” kehidupan manusia di akhirat. Dengan kata lain, inti persoalan kehidupan akhirat adalah kehidupan manusia di muka bumi ini. Dengan menjadikan dunia sebagai pusat, tidaklah kita mengutamakan kehidupan kehidupan dunia dan mengecilkan bahkan menafikan kehidupan akhirat.
Kesadaran akan adanya hubungan antar kehidupan dunia-akhirat adalah kesadaran akan proses. Ketika kehidupan dunia-akhirat sebagai rangkaian proses harus berarti bahwa terdapat nilai yang serata antara keduanya. Akhir atau hasil hanya ada dan bermakna hanya bila ada awal. Demikian juga sebaliknya, awal hanya ada bila ada akhir. Dan keduanya adalah bagian integral dari proses. Kita tidak bisa berimajinasi tentang nilai dari akhir proses apabila kita tidak pernah memikirkan proses awal. Dengan kata lain, kita tidak pernah bisa berimajinasi tentang keselamatan kehidupan kita di akhirat apabila kita tidak pernah berusaha untuk selamat dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Kalau pun bisa, itu hanyalah sebuah mimpi di siang bolong.
Pemisahan secara dikotomis antara kehidupan dunia-akhirat sama anehnya dengan pemisahan secara dikotomis antara alam dan manusia. Demikian juga dengan pemisahan antara fakta manusia sebagai kenyataan individual dan sosial. Bila orang demikian peduli dengan keselamatan dirinya tanpa adanya kepedulian untuk menjaga keselamatan alam di sekitanya, apalagi baik secara aktif atau pun pasif melakukan kerusakan terhadap lingkungan hidupnya, sama saja dengan orang yang berjalan yang sedemikian memperhatikan kesehatan kaki dan keindahan langkahnya tanpa memperhatikan apa yang ia pijak. Cepat atau lambat pasti ia akan terjatuh, dan celaka. Kecelakaan karena ketidakpedulian terhadap apa yang ada disekitarnya, yang akan mengakibatkan hancurnya apa yang selama ini ia jaga dan pelihara, yaitu diri sendiri. Hal yang sama akan pula terjadi bila seseorang sedemikian peduli dengan lingkungan akan tetapi tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi di dalam dirinya.
Dengan demikian, pemaknaan terhadap kehidupan hanya bisa dilakukan secara baik dan benar serta menyelamatkan apabila dalam proses pemaknaan tidak dilakukan secara parsial. Maka dapat dikatakan, bahwa yang disebut dengan manusia (secara eksistensial) bukan hanya apa yang kita sebut sebagai tubuh dan ruhani ini, sebagai kenyataan faktual, akan tetapi juga sebagai kesatuan dari keseluruhan yang berpusat pada manusia sebagai tubuh dan ruh.
Bila menggunakan ilustrasi permainan catur (atau pun permainan lainnya), kehidupan ini seperti permainan catur. Pemain catur harus demikian jeli memperhatikan seluruh bidak caturnya, baik bidaknya sendiri maupun lawannya serta posisi serta fungsi atau kedudukan masing-masing bidak tanpa menganggapnya sebagai tak bermakna (anonim). Bahkan lebih dari itu ia harus pula memperhatikan bak catur, kondisi lawan, waktu dan lain sebagainya. Kehidupan ini memang sebuah permainan tapi bukan untuk dipermainkan melainkan untuk dimainkan (dijalani). Dan untuk memainkannya (menjalankan) seluruh unsur dalam permainan tersebut harus dimaknai sehingga dapat difungsikan dan diposisikan sebagaimana mestinya. Setelah jelas makna, fungsi dan posisinya kita akan tahu apa sebenarnya tujuan dari permainan itu. Dan selanjutnya kita bisa secara dinamis menentukan strategi serta cara menjalani permainan itu.
Demikian pula dengan kehidupan. Pemahaman dan kesadaran kita akan makna, fungsi dan posisi kita di dunia ini akan mempermudah kita dalam menentukan strategi serta cara kita menjalani kehidupan. Bayangkan bila dalam sebuah permainan catur, pemain catur menafikan keberadaan sejumlah piont, maka langkahnya akan kacau bahkan mungkin salah. Bila demikian jangan harap akan mendapat kemenangan. Demikian juga dengan kehidupan, manusia harus melihat segala sesuatu sebagai satu kesatuan integral dengan dirinya, baik aspek internal maupun eksternal.
Kekuatan dan kelemahan Manusia => modal untuk “menjalani” kehidupan
Untuk menjatuhkan/melemahkan orang berikanlah apa yang yang disukainya (HHM).
“Orang bijak mengatakan bahwa kekuatan atau kelebihan manusia merupakan sumber dari kelemahannya, dan kelemahan atau kekurangan manusia adalah sumber kekuatannya”
Telah banyak bukti bahwa cacat atau kelemahan seseorang dalam satu aspek dalam tubuhnya secara unik akan mempertajam kepekaan dan kemampuan aspek lainnya. Sebagai contoh, yang memiliki kelemahan dalam alat indera penglihatan akan cenderung memiliki kepekaan pendengaran yang melebihi kemampuan orang lain.
SlideShow
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar